Sepak Bola Menyatukan, Harga Tiket Melahirkan Lapisan
PIALA Asia 2007. Piala AFF 2010. Dua event tersebut punya peranan penting dalam pendalaman saya terhadap makna dan keberadaan suporter sepak bola di negeri ini.
Kenapa menggali memori 17 dan 14 tahun lalu? Pemicunya hanya letupan yang mungkin dianggap kecil oleh sebagian orang: kenaikan harga tiket laga timnas di putaran II kualifikasi Piala Dunia 2026.
Sebagai salah satu tuan rumah Piala Asia 2007 (bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam), salah satu yang menonjol dari Indonesia adalah perubahan gaya dukungan penonton di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta.
Ketika variasi warna (klub dukungan) tak lagi mencuat, dominasi warna merah saat Ponaryo Astaman dkk, berlaga di Grup D menunjukkan perubahan sikap.
Saya tak menutupi dampak dari Piala Dunia 2002 yang memperlihatkan bagaimana dukungan masyarakat Korea Selatan pada Taegeuk Warriors alias Macan Asia.
Warna merah semakin menguasai Stadion Gelora Bung Karno ketika Bambang Pamungkas cs tampil memesona di awal Piala AFF 2010. Suporter Garuda di bangku penonton kian menjadi amunisi tambahan bagi para pemain timnas. GBK tambah angker bagi lawan-lawan Indonesia.
Bersatu. Hal ini yang saya rasakan, saya amati, dan saya banggakan dari pendukung tim nasional Indonesia. Sepak bola punya magnet luar biasa untuk menyatukan.
Warna merah menggeser jersey-jersey klub yang sebelumnya mengganggu mata ketika pasukan Garuda beraksi di lapangan hijau.
Identitas dan kebanggaan terhadap klub berhasil berubah setiap timnas berlaga. Perbedaan dukungan saat kompetisi domestik berjalan bergeser menjadi persatuan untuk Tim Garuda. Sebuah kekuatan yang sangat diwaspadai lawan-lawan Indonesia.
Lalu, apa pemantik yang membawa kita kembali ke Piala Asia 2007 dan Piala AFF 2010? Tentu bukan karena pencapaian yang mengecewakan, terutama di final 2010 itu.
Adalah ancaman terciptanya strata atau tingkatan level pendukung tim nasional Indonesia. Apakah sepak bola memiliki sisi gelap yang berpotensi membentuk lapisan-lapisan berbeda para pendukungnya?
Istilah FOMO alias fear of missing out tiba-tiba hadir mengisi pemberitaan soal tiket pertandingan Indonesia melawan Irak dan Filipina. Harga tiket di laga putaran II kualifikasi Piala Dunia 2026 melonjak naik, walau peminat tidak sepi.
Benarkah mereka yang memburu tiket mahal itu karena takut kehilangan momen untuk membuat konten, khawatir tidak mengikuti tren, atau penegasan status berada di lapisan atas?
Apakah mereka yang memiliki uang untuk membeli tiket pertandingan dengan harga yang dianggap "wah" tidak dapat kita golongkan sebagai pendukung setiap Tim Garuda?
Mungkin, kelompok lapisan atas ini tidak hadir tahun-tahun lalu saat Tim Garuda lebih banyak menghadirkan kekecewaan.
Terkini Lainnya
- Persib Vs Zhejiang FC, Bojan Hodak Siapkan Kejutan Spesifik
- Bersama 26 Pemain Timnas Indonesia, STY Optimistis Hadapi Piala AFF 2024
- Guardiola Serukan Man City Berjuang Vs Nottingham, Ungkit De Bruyne
- Pelatih Persib Sebut Liga 1 Indonesia Tak Sekuat AFC Champions League 2
- Luapan Bahagia Van Nistelrooy Jalani Start Sempurna di Leicester City
- Raphinha Cetak Brace, Barcelona Punya Dua Penyerang Subur di Eropa
- Amorim: Badai Pasti Datang untuk Manchester United
- Arsenal Vs Man United, Kata Arteta soal Bukayo Saka Idolakan Ronaldo
- Kata Pratama Arhan soal Komposisi Berbeda Indonesia pada Piala AFF 2024
- Perbandingan Nilai Pasar Persib Vs Zhejiang FC bagai Langit dan Bumi
- Mallorca Vs Barcelona, Raphinha Akan Terus "Lapar"
- PSG Bantah Ingin Rekrut Mo Salah
- Lima Gelar Juara Nasional di Akhir 2024, HRI Pertahankan Formasi pada 2025
- Lionel Messi Dapat Prestasi Tanpa Bertanding, Inter Miami Untung Besar
- Usai Bikin Keajaiban Terakhir, Claudio Ranieri Akan Pensiun
- Semifinal Piala AFF Target VFF, Tak Peduli Satu Grup dengan Garuda
- Piala AFF 2024 Disebut Tantangan Utama Pelatih Vietnam Kim Sang-sik
- Potensi Cristiano Ronaldo Pecahkan 3 Rekor di Euro 2024
- Atletico Madrid ke Jakarta, Sesi Latihan dari Pelatih Akademi Rojiblancos