twins2010.com

Strategi Mengangkat Prestasi Olahraga Indonesia

Pesepak bola Timnas Indonesia Putri U17 menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pertandingan Grup A Piala Asia Putri U17 2024 melawan Timnas Filipina Putri U17 di Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar, Bali, Senin (6/5/2024). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/Spt.
Lihat Foto

PRESTASI olahraga sejatinya adalah etalase kemajuan suatu bangsa. Itu sebabnya ikhtiar untuk terus mengangkat prestasi olahraga perlu menjadi agenda strategis yang tak terelakan dari semua stakeholders olahraga, dengan tahapan yang terfokus dan relevan.

Dalam konteks itu saya hendak berbagi pengalaman sejauh ini dalam berkecimpung di olahraga, harapannya bisa menjadi strategi dan juga paradigma dalam membangun olahraga nasional, memastikan lebih banyak atlet-atlet Indonesia di panggung dunia, meraih prestasi tinggi.

Pengalaman sewaktu diberi amanah memimpin Pengurus Besar Ikatan Sepeda Sport Indonesia (ISSI) Periode 2015 - 2019, cabang olahraga ini sebelumnya tidak diperhitungkan, namun kemudian perlahan mulai eksis atau menunjukan prestasi di level internasional.

Mengelola cabang olahraga dari sebelumnya tak ada harapan, menjadi maju, membuat saya menemukan sejumlah alasan atau persoalan yang sesungguhnya hampir sama dengan yang terjadi atau setidaknya juga dialami oleh cabang olahraga lainnya.

Pada ISSI misalnya, keterpurukan dilatari oleh berbagai faktor. ISSI sebelumnya memiliki dinamika yang cukup tinggi, sehingga terpecah, bahkan hingga menjadi empat kubu di tingkatan Pengurus Besar, yang dikarenakan gengsi dari para pengurus, atau karena perebutan jabatan organisasi.

Satu hal yang sebenarnya jamak, mengingat di Indonesia jabatan ketua umum di federasi nasional atau cabang olahraga, baik itu di level nasional maupun daerah, kerap menjadi ajang untuk keren-kerenan semata, hingga kemudian diperebutkan, bahkan oleh mereka yang tidak mengerti dan memahami bagaimana mengelola atau memajukan prestasi di bidang olahraga.

Belum lagi soal banyaknya informasi yang sebenarnya kurang relevan atau disinformation mengenai olahraga terutama di kalangan pelaku olahraga, selain dikarenakan oleh faktor yang bersifat empiris, dalam hal ini semacam tradisi yang kurang kondusif atau bahkan kontraproduktif, maupun yang dilatari oleh kepentingan pribadi dan kelompok.

Padahal mestinya olahraga dikelola dengan mengacu pada standar yang berlaku secara internasional. Misalnya, untuk balap sepeda, sumbernya atau rujukannya itu ada pada Union Cycliste Internationale (UCI), sehingga kiblat balap sepeda harusnya ke situ.

Begitu pula dengan cabang olahraga lainnya, harus berada atau menjadi bagian penting dalam struktur dan standar serta peraturan yang berlaku secara international.

Sedangkan di Indonesia yang terjadi sebaliknya, sejumlah organisasi yang mewadahi olahraga justru tersita perhatiannya pada dinamika organisasi atau perebutan jabatan yang kerap berujung konflik internal, sehingga peningkatan prestasi terabaikan.

Bisa dilihat, setiap ada musyawarah atau kongres organisasi cabang olahraga, pengurus di berbagai tingkatan menunjukan semangat yang luar biasa.

Namun setelah itu, atau dalam menjalankan roda organisasi, belum banyak yang fokus, bahkan ada daerah-daerah yang tidak hadir atau tidak ikut partisipasi dalam event atau ajang di tingkat nasional.

Realitas belum terkelolanya organisasi secara baik, sehingga kurang fokus terhadap peningkatan prestasi olahraga berdampak serius terhadap pencapaian prestasi olahraga nasional, terutama dalam persaingan atau kompetisi di level Internasional, baik itu di multi event, maupun di ajang championship di tingkat regional, konfederasi maupun federasi international.

Namun bila mau dibedah lebih dalam, persoalan olahraga nasional sebenarnya cukup luas, mencakup banyak dimensi. Hal itu menjadi semacam satu ekosistem yang saling terkait atau berkaitan erat, butuh penanganan holistik.

Pertama, persoalan atlet. Konteks ini mendasar, mulai dari pengelolaan dan pembinaan usia dini terlihat belum dilakukan secara baik, dengan tata kelola yang jelas atau komprehensif.

Atlet kerap jalan sendiri dengan inisiatif mandiri, pengurus organisasi olah raga asyik atau sibuk sendiri.

Belum lagi soal adanya faktor like or dislike dalam rekrutmen atlet pada ajang olahraga prestasi yang mewakili daerah hingga masuk ke tim nasional kerap bukan merupakan atlet terbaik.

Begitu pula di banyak cabang olahraga belum menerapkan Key Performance Index (KPI), termasuk belum ada program seleksi yang ketat dan jelas untuk para atlet.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat